Kumpulan puisi

Gigil Blues


seperti serigala yang merintih
di bawah redup rembulan.
kaucari kembali nada-nada yang
menghilang di balik malam
kaugantung hentakkan melodi di lekuk dada.
berita kekalahan menjadi syair.
syair yang akhirnya kaupercayakan
pada Norah, Armstrong, Fitzgerald
yang membawamu berpacu
dalam gerah yang makin muram:
“akh, malam yang fana!”
katamu dengan mata memerah.
kaureguk lagi kenangan
seperti tetesan dari keran
yang tak lagi menyimpan air.
dan tenggorokan sekerontang kemarau,
kaki petualang bugil,
tangan para penyair
menjadi rentan oleh hujan yang meruncing.
dan di bawah redup rembulan
harapan tergantung
pada lampu yang menguning.
namun tak dapat menuntaskan hasrat kelam
seorang muram
yang hendak menampik luka.
dan akhirnya,
kauterus bernyanyi
hingga kau
menjelma Blues yang menggigil
di malam hari.

(2008)




Di Permukaan Air Bening

dalam bening air, kutaburkan serpihan wajahmu.
seperti menabur kembang setaman bagi ruh yang
gentayangan. aku tak sedang bermimpi, tapi aku sedang
mengembalikan kota-kota yang hampir membusuk di
tubuhku,
................di otakku.

lewat bening air itu, kususun kembali ingatan bersamamu.
memperbaiki halaman-halaman yang koyak atau
menyingkapnya dari debu yang terlahir dari perjalanan
yang kehilangan pangkal perencenaan.

namun aku tak dapat mengembalikanmu seperti dulu,
meski aku sangat menginginkanmu.
aku adalah air, kau bayangan sebatang pohon
yang bergantung pada cahaya terik.
.................................cahaya yang membuat kau dan aku
sadar kapan harus berjalan dan tidur.

kau bayangan yang tak dapat mengikuti dirimu.
kau wujud yang kusimpan dimataku,
sejauh aku menginginkanmu,
sejauh aku mengingatmu.

kau adalah wajah yang kukekalkan di mataku.
yang sengaja kususun di permukaan air bening ini
untuk menjagamu dari ketiadaan di otakku.
tapi apabila kusentuh, aku akan basah
dan kau akan hanyut. wajahmu tenggelam. dan aku
akan kembali merasakan kehilangan.

(2008)



Seperti kota
yang ditinggalkan kendaraan
dan orang-orang yang terlelap


jika aku harus tinggal di matamu, maka aku
menginginkan kesunyian di relung dadamu.

seperti kota yang ditinggalkan kendaraan dan orang-
orang yang terlelap.

apabila musim hujan singgah, maka aku
menginginkan selimut tebal yang berasal dari:

senyummu dan tubuhmu.

dan dalam keheningan yang sedkit curam ini, aku
menaburkan benih angan-angan:

untuk menjumpaimu.

(Kedaton, Oktober, 2008)




Pagi

langit yang merekah
suara kendaraan lahir
dari cemas orang-orang
yang bergegas.

daun-daun terbakar
di pipi Jakarta.
dan ada saja
yang tersesat

di jalan Ibukota.

(Jakarta, Oktober, 2008)



Perempuan di Antara
Pepohonan Jakaranda

—inspirasi dari lukisan F.X. Teguh Prima



langit merah saga menjadi laskap bagi pepohonan.
dan perempuan itu, sendiri menatap jalan setapak di depannya.
seolah-olah ada yang dinanti, seolah-olah ada
......................................................................yang meninggalkannya.

rambutmu tergerai, berayun-ayun dan sesekali membuka
punggungmu yang terhampar masa lalu.
rambutmu adalah cemara sutra.
dan semak belukar di dapannya dan kusut itu,
persinggahan terakhir bunga-bunga jakaranda,
menjelma permadani ungu.

lihatlah perempuan itu;
rambut dan blues putihnya kerap tersingkap angin.
ia sedang mengusir masa lalunya lewat gelembung bajunya.
hingga tubuhnya seperti gunung volcano yang gemetar
......................................................................mengeluarkan lava.

tapi ia tak sadar, betapa angin, guguran jakaranda,
semak belukar dan langit merah saga serta kenangan
yang terusir, beberapa detik telah lesap ke dalam tubuhnya:
menjelma masa lalu pula,
ingatan pula:
tentang dirinya di antara hutan
jakaranda.

(2008)



Di stasiun kereta

di stasiun kereta menjelang sore, hidungku
mencium amis rel kereta yang menyepuh karat.
renyai yang menguak luka,
luka dari ratusan tahun yang lalu.
batu-batu yang sejak puluhan tahun yang lalu
tak beranjak, kecuali terlempar
hanya mengisyaratkan kepergian dan kedatangan
lewat getaran.
aku memulai kisahku di sini,
di antara hujan yang menetaskan rindunya
kepada tanah, kepada pohon,
dan kepadaku,
mungkin juga kepadamu.
di sinilah kedatangan dan perpisahan bermula:
di gerbong kereta,
di kepingan karcis
dan bangku
bagi para penunggu.
percakapan tak selesai, isyarat pertemuan..
karena kita tak pernah benar-benar terpisah.
kita adalah stasiun-stasiun kecil
yang disambungkan oleh rel kereta.
agar di sana, ada yang berkisah
tentang perjumpaan dan perpisahan.

(Stasiun Labuhan Ratu, 2008)

Cari Blog Ini